
Mega-Berita.com Mega-Berita.com Mega-Berita.com Mega-Berita.com Sanggau - Di jantung rimba Kalimantan Barat, suara gemeretak alat berat dan desah nafas buruh tambang tak pernah benar-benar hening.
Sanggau, sebuah kabupaten yang dihiasi hutan dan bukit berliku, telah lama menjadi saksi bisu kisah para penambang emas tanpa izin—PETI, begitu mereka disebut.
Tapi angin baru berembus. Bukan angin kencang yang menerbangkan atap, melainkan semilir harapan yang membawa nama: IPR, Izin Pertambangan Rakyat.
Dalam nuansa pagi yang belum sempat disapa matahari sepenuhnya, Sekjen FW & LSM Kalbar Indonesia, Wawan Daly Suwandi membuka kisahnya dengan suara lirih tapi tegas.
“IPR adalah solusi bagi para pekerja tambang. Tanpa kegaduhan. Tanpa peluru. Tanpa tangis di halaman kantor polisi.”
PETI bukanlah kata baru di telinga masyarakat Kalimantan Barat. Ia lahir dari kebutuhan, tumbuh dalam keterpaksaan, dan berkembang tanpa restu negara.
Masyarakat desa, yang hidup jauh dari denyut kota dan janji pembangunan, melihat tanah sebagai satu-satunya sumber kehidupan. Ketika pertanian tak lagi cukup, tambang emas menjadi jalan.
“PETI ini bukan sekadar pekerjaan. Ia adalah warisan,” lanjut Wawan. “Turun-temurun, dari kakek ke cucu, dari bapak ke anak. Mereka menambang bukan karena serakah, tapi karena bertahan hidup.”
Namun hukum tidak mengenal rasa lapar. Penambangan tanpa izin tetaplah ilegal. Selama bertahun-tahun, aparat keamanan mengejar mereka—kadang dengan razia, kadang dengan intimidasi. Barang disita, lokasi digusur, bahkan ada yang ditahan.
“Padahal,” Wawan menghela napas panjang, “tindakan represif itu tidak menyelesaikan apa-apa. Mereka akan kembali menambang. Tidak ada efek jera. Karena pilihan mereka hanya dua: menambang atau mati perlahan karena kelaparan.”
Membangun Jalan Tengah Bernama IPR
Melalui diskusi panjang antara pemangku kebijakan, tokoh masyarakat, dan aparat hukum, akhirnya muncul secercah cahaya: Izin Pertambangan Rakyat.
IPR menjadi solusi yang manusiawi. Bukan semata regulasi, tapi jembatan antara hukum dan kemanusiaan.
Wawan menegaskan, “IPR adalah langkah bijak, cermin sinergisitas antara aparat penegak hukum dan pemerintah. Sebuah titik temu yang saling menghormati: negara tetap berdaulat, rakyat tetap hidup.”
IPR tidak serta-merta diberikan. Ada proses panjang, kajian lingkungan, zonasi wilayah, dan pendataan pelaku tambang.
Tapi semua itu dilakukan dengan pendekatan partisipatif. Para penambang diajak bicara. Mereka diberi ruang untuk menjelaskan. Mereka bukan hanya objek hukum, tapi subjek kebijakan.
“Ini cara baru melihat rakyat,” kata Wawan dengan mata menerawang. “Bukan sebagai beban, tapi sebagai mitra.”
“IPR juga mengandung tanggung jawab,” ujar Wawan. “Dengan legalitas, datang pula kewajiban untuk menjaga. Penambang akan didampingi. Edukasi diberikan. Teknologi ramah lingkungan diperkenalkan.”
Ini bukan mimpi di siang bolong. Sudah ada beberapa wilayah di Sanggau yang menjalankan IPR secara resmi.
Di sana, para penambang bekerja dalam kelompok, menggunakan metode sederhana, tanpa bahan kimia berbahaya, dan yang terpenting: dengan izin.
Data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kalimantan Barat mencatat, hingga pertengahan 2025, sudah ada 11 titik tambang rakyat yang mengantongi IPR di wilayah Sanggau dan sekitarnya. Targetnya, akan ada 50 titik tambang rakyat yang legal hingga akhir tahun ini.
“Bayangkan dampaknya,” kata Wawan. “Ratusan keluarga mendapatkan penghasilan tetap. Anak-anak bisa sekolah. Tak perlu lagi sembunyi-sembunyi saat bekerja. Mereka menambang dengan kepala tegak.”
Mengapa baru sekarang IPR dikedepankan? Bukankah sejak dulu para penambang telah bersuara?
“Saya rasa kita semua—pers, pemerintah, aparat—telah terlalu lama melihat tambang ilegal sebagai musuh,” ucap Wawan pelan. “Padahal mereka hanya korban dari sistem yang tak hadir. Kini saatnya membalik paradigma. Jangan lawan mereka. Rangkullah.”
Apa yang terjadi di Sanggau hari ini adalah contoh bahwa perubahan bisa terjadi. Tapi perubahan tak lahir dari keangkuhan.
Ia lahir dari dialog, dari keberanian untuk mendengar, dari kebijakan yang memanusiakan manusia.
“IPR bukan hadiah,” tutup Wawan. “Ia adalah hasil dari perjuangan panjang. Bukan sekadar surat izin, tapi simbol bahwa negara akhirnya hadir di tanah mereka.”
Tampak jelas bahwa penertiban PETI dengan IPR bukan sekadar perubahan kebijakan. Ia adalah perubahan cara pandang.
Jika sebelumnya hukum berjalan kaku dan membungkam, kini hukum justru menjadi kendaraan menuju keadilan dan ketenangan sosial.
Apa yang dapat dipelajari dari Sanggau?
Legalitas bisa humanis
Tidak semua yang legal harus lahir dari ketakutan. IPR membuktikan bahwa perizinan bisa dibangun dari rasa saling percaya dan kolaborasi.
Keadilan bukan hanya soal hukum, tapi juga kehidupan
Para penambang di Sanggau tidak minta dimaklumi, tapi mereka ingin dimengerti. Dengan IPR, mereka tidak hanya “diampuni”, tapi dihargai.
Negara hadir bukan untuk menindas, tapi memelihara. Bukankah tugas negara adalah menjamin kehidupan yang layak?
IPR adalah satu dari sedikit contoh bahwa negara mampu menjalankan tugasnya dengan anggun dan bijak.
Sanggau mungkin hanya satu titik kecil di hamparan luas bumi Kalimantan. Tapi dari tanah itu, suara-suara kecil kini menggema: suara yang dulu ditindas karena menambang tanpa izin.
Kini berbicara lantang—menambang dengan tanggung jawab, dengan surat resmi, dengan harga diri.
IPR bukanlah akhir dari perjalanan. Ia hanya permulaan. Tapi sebuah permulaan yang pantas dirayakan, ditulis, dan dijadikan inspirasi bagi daerah lain.
Karena pada akhirnya, bumi bukan hanya untuk dieksploitasi, tapi juga untuk diwariskan.
Dan siapa lagi yang lebih layak mewarisinya selain rakyat yang telah menjaganya dengan peluh dan doa.